Home » » Sekolahnya Manusia, bukan sekolah robot

Sekolahnya Manusia, bukan sekolah robot

Posted by Endy Education Programs on Selasa, 24 Mei 2011

Belajar = Bermain dan Bermain = Belajar

Sekolah bagi Edi tak ubahnya  penjara. Ketika masih di TK, Edi tak pernah mau berangkat sekolah.  Baginya, sekolah hanya menghalangi keasyikannya bermain.  Akibatnya, Edi tak bisa membaca dan menulis serta selalau ‘fobia’ pada hal-hal yang berbau sekolah.  Orangtua Edi dibuat resah oleh tingkah laku sang anak yang dianggap nyeleneh dari kebiasaan umum anak-anak seusianya.  Apakah hal ini merupakan indikator bahwa Edi adalah anak yang malas?  Ataukah justru jenis pembelajaran di sekolah yang menghalangi tumbuh kembangnya kecerdasan Edi?

Pertanyaan mulai terjawab ketika Edi memasuki tingkat sekolah dasar.  Pada masa-masa awal bersekolah, Edi masih bermalas-malasan dan tidak semangat dalam mengikuti  pelajaran.  Untungnya guru-guru di SD tersebut mampu mengenali potensi kecerdasan Edi, yaitu kinestetis (gerak) dan spasial visual (ruang).

Metode pembelajaran klasikal-ortodoks yang mewajibkan anak didik duduk manis dan diam di sebuah ruang berukuran 5 x 15 m selama enam jam atau bahkan lebih tentulah sangat membosankan bagi seorang Edi yang sangat menyukai gerak dan ruang luas.  Setelah menyadari jenis kecerdasan yang dimiliki Edi, para guru memberikan aktivitas  yang membuat Edi senang dan tertarik mengikutinya seperti aktivitas learning by sport dan learning by painting.

Saat belajar bahasa Indonesia, Edi tidak lagi duduk di kelas dan mendengarkan guru ‘berceramah’.  Edi bersama teman-teman dan guru bahasa Indonesianya keluar dari kelas dan berkeliling sekolah, mulai dari lapangan, tempat parkir, bahkan sesekali ke luar sekolah. Saat berkeliling itulah, guru mempersilakan Edi dan teman-temannya untuk secara bergantian menceritakan apa saja yang menurutnya menarik untuk diceritakan.  Guru juga bercerita dan menjelaskan berbagai benda yang ditemui di jalan. Setelah itu barulah para siswa kembali ke kelas untuk menceritakan perjalanan yang baru saja dilakukan. 

Alhasil, Edi mulai enjoy dengan sekolah karena kegiatan belajar dikemas sedemikian rupa sehingga Edi merasakan bahwa belajar adalah bermain dan bermain adalah belajar.  Kini, sekolah adalah tempat bermain paling mengasyikkan bagi Edi dan murid-murid lain yang memiliki tipe kecerdasan yang sama dengan Edi.  Bahkan, saking asyiknya dengan sekolah, pada saat sakit pun Edi masih ingin masuk sekolah untuk belajar.  Luar biasa!

---

Kisah dari Sekolahnya Manusia, Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia (penulis: Munif Chatib), adalah sebuah contoh tentang keberhasilan dari pembelajaran sistem multiple intelligences.

Seandainya sekolah-sekolah di Indonesia sudah menerapkan Multiple Intelligences

Thanks for reading & sharing Endy Education Programs

Previous
« Prev Post

Popular Posts

Blogroll

Arsip Blog